Dari Ruang Sunyi: Sebuah Surat untuk Diriku Sendiri

Untuk Diriku yang Pernah Kecil: Dari Ruang Sunyi
Hai, kecilku.
Apa kabar kamu di sana?
Yang dulu berlari tanpa takut jatuh. Yang menertawakan luka seolah tak pernah ada rasa sakit. Yang belum tahu kerasnya hidup, tapi sudah berani bermimpi besar.
Sudah lama aku ingin menulis surat ini. Mungkin terlalu lama. Sampai-sampai aku nyaris lupa bagaimana rasanya menjadi kamu, bebas, liar, dan penuh semangat.
Aku ingat kamu. Masih sangat jelas.
Kamu yang tak betah diam. Lebih suka mengejar cahaya matahari sore daripada menatap buku pelajaran. Kamu yang menjadikan pematang sawah sebagai jalan tol, sungai sebagai arena bermain, dan tanah basah sebagai karpet rumah impian. Dunia terasa begitu luas, begitu mungkin untuk ditaklukkan.
Dan kamu tahu, kecilku?
Aku tumbuh menjadi orang dewasa yang kita impikan. Aku menjelajah banyak sudut Aceh, mendaki gunung-gunung, mengarungi jeram-jeram sungainya. Aku hidup di alam bebas, menjadi bagian dari komunitas pecinta alam yang bukan hanya mencintai gunung, tapi juga menjaganya.
Aku menanam pohon, memungut sampah di pantai, dan ikut menancapkan anakan mangrove di lumpur bersama anak-anak pesisir. Dan aku merasa hidup dengan semua itu. Merasa utuh. Merasa menjadi manusia yang seharusnya.
Lingkungan adalah rumah bagiku. Saat berada di alam, aku merasa damai. Tidak ada topeng, tidak ada kebisingan. Hanya aku, bumi, dan rasa syukur.
Tapi, kecilku… segalanya berubah.
Lima tahun lalu, kita mengalami kecelakaandi sini. Hingga membuat tulang paha kanan kita hancur dan tak bisa menopang tubuh lagi. Dalam sekejap, dunia yang dulu luas, mengecil jadi empat sisi tembok. Tak ada lagi pendakian. Tidak bisa lagi mengarungi derasnya jeram. Tak ada lagi jejak kaki di tanah basah atau tawa lepas dari tenda di lereng gunung.
Aku tidak menangis waktu itu. Bukan karena aku kuat. Tapi karena aku terlalu kaget untuk menangis. Dunia tiba-tiba sunyi. Dan aku ikut diam. Tapi bukan berarti aku baik-baik saja. Tidak.
Aku melihat orang-orang di sekitarku merespon dengan berbagai cara. Ada yang peduli, ada yang berempati, ada yang menjauh karena tak tahu harus berkata apa. Ada yang diam-diam menjatuhkan simpati seadanya, lalu kembali ke hidupnya sendiri. Tapi ada juga yang tetap tinggal, yang hadir dalam diam, yang tak menuntutku untuk kuat, tapi menemani saat aku rapuh. Aku melihat siapa yang benar-benar mencintaiku karena diriku, bukan karena apa yang bisa kulakukan.
Hari-hari terasa lambat. Tapi di situlah aku belajar mengukur langkah bukan dalam jarak kilometer atau tinggi Meter Di atas Permukaan Laut, melainkan dalam keteguhan hati. Aku mulai menulis. Merekam ulang hidup. Meraba-raba cara baru untuk tetap merasa utuh, walau anggota tubuh tak lagi berfungsi normal.
Dan di situ aku belajar, bahwa meski kaki ini tak lagi bisa melangkah jauh, jiwaku tetap bisa menjelajah.
"Tubuhku mungkin tak lagi utuh, tapi jiwaku harus sembuh, dan itu cukup untuk melanjutkan hidup."
Aku belajar memaknai kebebasan bukan lagi sebagai kemampuan bergerak, tapi kemampuan bermimpi, mencipta, dan mencintai, meski dari ruang yang terbatas.
Kecilku, aku tidak ingin kamu bersedih mendengar semua ini.
Sebaliknya, aku ingin kamu bangga.
Karena kita tidak menyerah. Kita tidak berhenti. Kita hanya berubah.
Dari bocah yang berlari menantang hujan, menjadi manusia dewasa yang memilih bertahan dalam badai.
Hidup memang tak selalu seperti yang kita rencanakan.
Tapi justru di situ kita belajar.
Bahwa bahagia bukan milik mereka yang tak pernah terluka, tapi milik mereka yang tetap bersyukur meski tak lagi sempurna.
Dan untuk siapa pun yang membaca surat ini, yang sedang jatuh, terluka, kehilangan, atau merasa tertinggal dalam hidup, izinkan aku membisikkan ini:
Tidak apa-apa jika kamu sedang rapuh. Tidak apa-apa jika kamu merasa lambat.
Hidup bukan soal siapa paling cepat, tapi siapa yang paling berani tetap melangkah.
Peluklah luka-lukamu. Jangan malu untuk jatuh. Jangan berhenti. Karena bahkan dari ruang yang paling sunyi sekalipun, cahaya bisa tumbuh, pelan.
Kecilku, kamu adalah bagian terbaik dari hidupku.
Karena kamu pernah berani bermimpi, aku bisa bertahan. Karena kamu tak pernah takut jatuh, aku tetap bisa tersenyum hari ini, meski tidak lagi berdiri tegak seperti dulu.
Aku berjanji akan terus menjaga semangatmu.
Karena kamu adalah api kecil yang tak pernah padam.
Dari aku yang kini berjalan pelan, tapi tak berhenti,
Untuk kamu yang kecil, lincah, dan selalu percaya pada keajaiban hidup.
Keren bg 👊 hidup adalah pembelajaran bagi orang yang mau belajar memaknainya dengan baik ✨
BalasHapusBener banget tuh Ira, hidup tuh kayak sekolah tanpa libur, tiap hari ada aja pelajaran baru, asal kitanya mau nyimak. Semoga kita terus lulus dari ujian hidup, satu per satu. 😄✊
HapusMakasih sudah baca dan ninggalin komentarnya ya Ra.