Perjalanan Terakhir: Dari Pesisir Mangrove ke Ruang Sunyi

Sabtu, 26 September 2020.
Hari itu matahari terik menyinari pesisir Aceh Timur. Angin laut membawa aroma garam yang akrab. Aku tidak tahu bahwa perjalanan sore itu akan menjadi perjalanan terakhirku sebagai petugas lapangan—dan awal dari babak hidup yang sama sekali berbeda.

Aku bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, khususnya ekosistem pesisir. Dalam keseharian, aku tidak mengenal Sabtu, Minggu, atau hari libur. Hari-hariku nyaris tak pernah sama—kadang di desa pesisir, kadang di tambak, kadang di kantor menyusun laporan. Tapi semua hari itu terasa utuh, karena semuanya bagian dari sesuatu yang kucintai.

Fokus kami adalah menjaga dan memulihkan kawasan hutan mangrove atau Bak Bangka, begitu kami menyebutnya dalam bahasa Aceh. Tugasku adalah merancang kegiatan penanaman, berkoordinasi dengan masyarakat, mendampingi mereka di lapangan, lalu melakukan monitoring dan pelaporan. Pekerjaan ini mungkin tampak sederhana dari luar, tapi bagi kami yang menjalani, ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ini panggilan hati.

Mangrove dan Harapan yang Kutinggalkan
Setiap batang mangrove yang kutanam bersama mereka terasa seperti pohon harapan. Kami tahu, pohon itu tidak akan tumbuh semalam. Tapi kami percaya, suatu hari nanti ia akan menjadi pelindung bagi desa dari abrasi.

Aku menyukai segalanya: lumpur yang menempel di sepatu, keringat yang bercampur dengan bau laut, sapaan warga, obrolan ringan di gubuk-gubuk nelayan, tawa anak-anak yang bermain di antara akar mangrove. Aku menyukai bagaimana masyarakat membuka diri, bagaimana kami berdiskusi, menyusun rencana bersama, dan bagaimana mereka menyebut namaku dengan akrab, seolah aku bagian dari kampung mereka sendiri.

Jalan Lurus, Takdir yang Berbelok

Mangrove dan Harapan yang Kutinggalkan

Sore itu, usai bertemu masyarakat di satu desa, aku melanjutkan perjalanan menuju desa berikutnya. Seperti biasa, aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan provinsi yang mulus. Jalannya lurus—nyaris tanpa hambatan—dan dalam pikiranku hanya ada satu hal: menyelesaikan urusan hari itu juga. Masih ada satu kepala desa yang ingin kutemui, membahas lahan penanaman mangrove berikutnya. Aku selalu lebih tenang jika bisa menyelesaikan segalanya langsung di lapangan, sebelum hari berganti.

Namun di jalan itulah, takdir berkata lain. Sebuah Toyota Avanza melaju dari arah berlawanan dan menabrakku langsung dari depan. Tubuhku terpental jauh dan jatuh ke irigasi sawah di sisi jalan. Seketika, paha kananku mengeluarkan banyak darah dan tak bisa digerakkan lagi. Paha kananku patah, bukan sekedar patah, tulangnya remuk. Tapi aku masih sadar. Masih kuingat semuanya, Aku melihat langit, lalu wajah-wajah cemas yang berkerumun, suara-suara yang memanggil. Dalam hati, aku hanya berharap ini bukan akhir dari semuanya.

Aku dibawa ke puskesmas terdekat, lalu dirujuk ke sebuah rumah sakit swasta di Aceh Timur. Tapi saat itu pandemi COVID-19 sedang dalam gelombang tinggi. Rumah sakit penuh, suasana kacau. Tidak ada dokter ortopedi yang bisa segera menangani kakiku.

Malam itu panjang. Bukan hanya karena nyeri yang semakin menusuk, tapi karena kecemasan yang mengendap dalam diam: bagaimana jika aku tidak bisa kembali ke lapangan?

Keesokan harinya, pimpinan tempatku bekerja segera turun tangan. Dengan cepat mereka mengatur segala kebutuhan agar aku bisa dibawa ke RSUD Zainoel Abidin di Banda Aceh. Di sana, barulah aku mendapat perawatan yang lebih memadai. Tapi bahkan setelah kaki ini dibedah dan dirawat, aku tahu ada bagian dari diriku yang tidak akan sembuh secepat itu.

Lima Tahun Setelah Itu: Sunyi, Luka, dan Refleksi

Kini, sudah lima tahun berlalu sejak hari itu. Lima tahun sejak aku terakhir menyusuri pesisir. Lima tahun sejak aku terakhir menanam mangrove. Lima tahun di mana kakiku terus berada dalam penanganan dokter ortopedi. Dan lima tahun pula sejak aku harus belajar menerima bahwa kaki kananku tak akan pernah sama lagi.

Rasa kehilangan itu tidak datang sekaligus. Ia datang perlahan. Seperti air laut yang naik saat pasang, menggenangi satu demi satu kenangan.

Namun dalam sunyi itulah aku mulai melihat sesuatu. Perlahan. Dari tempat tidur yang lama menjadi tempat perenungan, aku mulai menulis. Bukan karena aku ingin menjadi penulis, tapi karena aku butuh menyelamatkan sesuatu dari dalam diriku yang terasa hancur.

Dan saat aku menulis, aku mulai menyadari sesuatu: bahwa cinta tidak selalu harus diwujudkan dengan tindakan fisik. Kadang, cinta bisa hadir dalam bentuk cerita, dalam bentuk ingatan yang dijaga, dalam bentuk doa yang dipanjatkan diam-diam.

Kini aku menulis bukan sekadar sebagai pelampiasan, tapi sebagai bentuk tanggung jawab. Setiap cerita yang kutulis adalah bentuk penghormatan pada hidup yang pernah kupijak.

Langkah yang Terhenti, Tapi Tidak Membuatku Berhenti

Aku belajar bahwa kehilangan bukan akhir. Ia adalah pintu menuju pemahaman baru. Bahwa kita bisa tetap berguna, meski dengan cara yang berbeda.

Aku tak tahu ke mana tulisan ini akan sampai. Tapi aku tahu, ia lahir dari cinta yang tak pernah benar-benar hilang. Dari luka yang kini mulai membentuk harapan baru. Dari langkah yang terhenti, tapi tidak membuatku berhenti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar