Malam Itu, Di Antara Api Unggun dan Khayalan


"Ada malam yang membuatku enggan tidur, karena khayalan lebih hangat daripada kantuk."
Tenda pendaki di puncak gunung tropis saat malam hari, diterangi api unggun dengan latar langit berbintang dan lampu kota di kejauhan

Malam mulai turun perlahan. Langit yang tadinya jingga kemerahan berganti menjadi biru tua, lalu gelap sepenuhnya. Aku duduk sendiri di teras tenda, beralaskan matras tipis, menghadap ke lembah yang jauh di bawah. Dari tempatku duduk, terlihat kerlip lampu-lampu kota yang mulai menyala satu per satu.

Letaknya memang bukan puncak tertinggi, hanya sebuah punggungan kecil di jalur pendakian, tapi cukup untuk memberi pandangan luas ke arah peradaban yang perlahan tenggelam di balik kabut malam.

Angin hutan menyapa pelan, membawa aroma tanah lembab dan kayu terbakar. Di dekatku, api unggun kecil menyala tenang. Ranting-ranting yang kupungut tadi sore kini menjadi sumber hangat dan cahaya di tengah gelapnya malam gunung.

“Malam itu terasa seperti jeda dari kehidupan. Hening, tapi tidak sunyi. Sepi, tapi tidak sendiri.”

Teman-temanku sudah terlelap di dalam tenda. Dengkuran mereka, berpadu suara serangga dan binatang malam, terdengar seperti orkestra liar yang mengiringi malamku. Aku masih terjaga, bukan karena tidak lelah, tapi karena ada sesuatu yang ingin kunikmati.

Sebuah ketenangan. Sebuah jeda. Mungkin juga sebuah khayalan.

Aku mulai berandai. Bagaimana jika malam seperti ini tidak kuhabiskan sendirian? Bagaimana jika di sampingku duduk seseorang yang spesial—berbagi hangat, cerita, dan langit malam?

"Mengalungkan tangan di pinggangnya, melempar candaan receh yang membuatnya tertawa sambil memukul pundakku—aku bahkan bisa merasakannya, walau hanya dalam kepala."

Baru-baru ini, aku mengenal seorang gadis. Bukan siapa-siapa, belum jadi apa-apa. Tapi sejak itu, pikiranku jadi punya arah baru. Entah kenapa, malam itu wajahnya muncul di benakku lebih jelas dari biasanya.

“Gak tidur kau, Gam?
Suara dari dalam tenda menyentak lamunanku.
“Aku di luar aja. Dalam tenda sumpek,” jawabku sambil terus menatap jauh ke arah lampu-lampu kota.

Tenda kami memang sempit. Lima orang berdesakan dalam tenda berkapasitas empat. Tapi alasan utamaku tetap di luar malam itu bukan karena ruang, melainkan karena aku sedang menikmati sesuatu yang tak bisa kudapat di dalam—sebuah ruang untuk membayangkan.

Aku rebahkan tubuh. Punggung mulai pegal. Cahaya api unggun menari lembut di dinding tenda. Lampu-lampu di kejauhan tampak seperti permata kecil, atau kapal pesiar yang berlabuh tenang.

“Aku dan dia, duduk berdampingan di sini. Menyeduh kopi, berbagi cerita, tertawa bersama... Mungkin suatu hari nanti.”

Langit mulai dipenuhi bintang. Mereka satu per satu muncul, seperti merespons cerita yang sedang kuputar dalam benak. Aku menatap mereka, berusaha mencari jawaban yang bahkan belum kuajukan.

“Apakah dia juga sedang membayangkan malam seperti ini? Akankah suatu hari kami benar-benar mendaki bersama?”

Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung. Aku tidak butuh jawaban saat itu. Biarlah hidup sebagai harapan diam-diam. Mataku mulai terasa berat. Perlahan, dunia nyata dan dunia khayalku melebur. Aku tertidur di teras tenda, berselimut dingin dan impian kecil.

 Gam, sarapan dulu!”
Suara temanku membangunkanku. Jam delapan lewat lima belas katanya. Aku bangkit perlahan, membersihkan wajah dengan sisa air, lalu menyantap sarapan yang sudah disiapkan. Hangat dan sederhana, tapi cukup mengembalikan semangat.

Kami bersiap untuk melanjutkan pendakian ke puncak selanjutnya. Tapi sebelum melangkah, aku sempat menoleh ke belakang—ke tempat di mana semalam aku duduk, bermimpi, dan berharap.

Aku tersenyum kecil, lalu dalam hati berbisik:

“Semoga khayalan semalam bukan hanya mimpi. Semoga suatu hari nanti, aku bisa benar-benar duduk bersamanya di sini.”

Malam di gunung memang dingin dan sunyi. Tapi kadang, di sanalah tempat paling hangat untuk bermimpi. Di antara api unggun dan langit bertabur bintang, kita bisa menuliskan harapan dengan cara yang paling jujur. Entah harapan itu akan menjadi nyata atau tidak, setidaknya ia pernah hidup, malam itu—di atas matras tenda, dalam pelukan sunyi, dan di hati yang tenang.

Pertama kali ditulis pada 29 November 2014, dan kuredakan kembali ingatannya hari ini—25 Juni 2025.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar