Catatan Seorang Demonstran — Suara Sunyi dari Seorang Idealistis

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”
Resensi Buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie

Kutipan kalimat di atas mungkin menjadi salah satu kutipan paling dikenal dari Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa, pencinta alam, dan penulis yang hidup di tengah pergolakan Indonesia tahun 60-an. Melalui buku Catatan Seorang Demonstran, Gie meninggalkan bukan hanya dokumentasi hidupnya, tetapi juga suara nurani seorang anak muda yang tak berhenti bertanya, menggugat, dan mencintai bangsanya dengan cara yang tak biasa: menolak tunduk.

Tahun 2011, saya dipinjamkan sebuah buku oleh seorang senior di organisasi Mapala Jabal Everest. Judulnya Catatan Seorang Demonstran. Saat itu saya belum benar-benar mengenal siapa itu Soe Hok Gie, apalagi memahami betapa dalamnya pemikiran yang ia tuangkan dalam catatan hariannya. Tapi saya ingat, buku itu terasa berat di tangan saya—bukan karena fisiknya, tapi karena apa yang dikandungnya.

Saya bergabung di Mapala sejak tahun 2009. Dunia pendakian, organisasi, dan diskusi-diskusi idealisme mulai jadi makanan sehari-hari. Di tengah semua itu, buku ini hadir sebagai semacam “buku wajib” yang harus dibaca oleh siapa saja yang ingin benar-benar paham arti kata berjuang dan berdiri sendiri. Maka saya pun membaca, pelan-pelan. Dan sejak itu, saya tahu bahwa saya tidak sedang membaca buku biasa.

Gie: Bukan Hanya Aktivis, Tapi Nurani yang Tak Pernah Mati

Catatan Seorang Demonstran adalah kumpulan catatan harian Gie yang ditulis dari tahun 1956 hingga 1969—tahun ketika ia meninggal di puncak Gunung Semeru. Buku ini tidak ditulis untuk diterbitkan, tidak ditata rapi seperti buku memoar kebanyakan. Inilah yang membuatnya begitu jujur. Penuh keresahan. Penuh renungan. Dan kadang, sangat menyakitkan untuk dibaca, karena terlalu dekat dengan realita.

Gie tidak hanya menuliskan kritik terhadap situasi politik Indonesia saat itu—dari Orde Lama hingga awal kemunculan Orde Baru. Ia juga bicara tentang rasa sepi, tentang cinta yang tak tuntas, tentang kekecewaan kepada teman seperjuangan, dan tentang kelelahan menjadi idealis di dunia yang begitu mudah berkompromi.

Sebagai mahasiswa jurusan Sejarah Universitas Indonesia dan anggota Mapala UI, Gie tak pernah diam. Ia turun ke jalan, menulis artikel, dan mendaki gunung untuk mencari keheningan. Dan ia juga menulis untuk menyuarakan isi hatinya. Dan di sinilah saya merasa terhubung: bahwa menulis adalah bentuk perlawanan, sekaligus cara untuk bertahan.

Bagian-bagian favorit saya dalam buku ini adalah ketika Gie bicara tentang alam. Tentang betapa ia merasa lebih dekat dengan kebenaran saat berada di gunung, jauh dari hiruk pikuk kota. Saya tahu rasanya. Duduk di tepi jurang, memandang kabut pagi, merasa kecil tapi utuh. Gie berhasil menuliskan perasaan yang sering kali tak bisa saya ucapkan setiap kali turun dari pendakian.

Dan itu membuat saya merasa buku ini bukan sekadar warisan sejarah, tapi refleksi batin. Ia mengajak saya, dan mungkin juga banyak orang, untuk jujur pada diri sendiri. Untuk berani bertanya, bahkan ketika jawaban tak ada. Untuk percaya pada suara hati, bahkan ketika itu membuat kita harus berjalan sendiri.

Tahun 2023 lalu, saya membaca ulang buku ini. Kali ini dari buku milik saya sendiri—bukan pinjaman, bukan e-book. Saya ingin benar-benar menyentuh kembali tiap lembarnya, menandai kalimat-kalimat yang dulu saya lewati, dan membacanya dengan diri saya yang sekarang.

Gie mungkin sudah tiada. Tapi kata-katanya tetap menyala seperti nyala lilin kecil. Tenang, jujur, dan tak gentar. Di tengah dunia yang semakin ramai dengan kebisingan digital dan opini kosong, suara Gie tetap terasa seperti oase. Ia tidak berteriak, tapi ia sampai ke hati.

Catatan Seorang Demonstran bukan buku yang bisa saya baca sekali, lalu tutup dan lupakan. Ini adalah buku yang akan saya baca ulang lagi dan lagi—karena di setiap fase hidup, saya merasa menemukan versi baru dari diri saya di antara kalimat-kalimatnya.

Buku ini mengingatkan saya bahwa menjadi jujur adalah keberanian, bahwa berpikir sendiri adalah pilihan yang sah, dan bahwa menulis bisa menyelamatkan nurani.

Sebagaimana pengakuan jujur Gie dalam buku ini, seorang intelektual muda yang gelisah, ia menulis dengan lantang:

"aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan. tapi aku tahu aku tidak bisa diam."

Saya akan terus membaca dan belajar menulis. Karena dengan menulis, saya mengingat. Dan dengan membaca, saya terus belajar untuk meresapi—dunia, kehidupan, dan diri saya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar