Dari Tenda ke Tinta: Catatan Reflektif Seorang Mapala

Banyak yang masuk Mapala karena ingin mendaki gunung, menjelajah alam, atau sekadar mencari pengalaman di luar ruang kelas. Tapi tak semua bertahan. Dan dari mereka yang bertahan, tak semuanya menulis tentang apa yang pernah dialami. Padahal, organisasi seperti Mapala tak sekadar mencetak pendaki, tapi membentuk manusia—yang kuat secara fisik, tangguh secara mental, dan sadar akan relasi sosial serta lingkungan. Maka tulisan ini hadir, bukan sebagai nostalgia, apalagi keluhan. Tapi sebagai upaya mengingatkan—bahwa kita pernah punya rumah yang layak dirawat bersama.
Mapala, bagi sebagian dari kita, bukan hanya sebatas organisasi kegiatan kemahasiswaan. Ia adalah rumah kedua—tempat kita belajar mengenal alam, mengenal diri sendiri, dan mengenal orang lain di luar batas jurusan atau angkatan, bahkan diluar kampus. Di sinilah kita belajar membaca arah mata angin, mendirikan tenda di tengah hujan, berjalan berjam-jam dalam hening, hingga menyeduh kopi dari kompor portable dengan tawa seadanya. Semua itu membentuk cerita yang tak akan pernah bisa diganti oleh ruang kelas.
Namun seberarti apa pun perjalanan yang kita tempuh, jika tak ditulis, semua bisa hilang. Ingatan manusia terbatas, dan kenangan bisa memudar seiring waktu. Menulis adalah cara kita meninggalkan jejak—bukan hanya untuk dikenang, tapi juga sebagai bentuk tanggung jawab kita terhadap pengalaman yang pernah kita alami.
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.”— Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca
Aku mengenal Mapala sejak 2009. Kala itu, hidup nyaris seluruhnya tercurahkan ke organisasi ini. Sekretariat bukan sekadar tempat singgah, tapi tempat tumbuh. Di sana aku belajar berdiskusi, menyusun agenda, menyelesaikan tugas kuliah di sela rapat, bahkan berbagi cerita tentang hal-hal sepele yang entah kenapa terasa penting. Dari peserta Diksar yang belum tahu apa-apa, perlahan tumbuh menjadi bagian dari pengurus, hingga disebut “senior”. Dan dari semua itu, aku belajar bahwa yang paling berharga bukan jabatan atau pencapaian, tapi prosesnya.
Bertahun-tahun dalam lingkaran ini membuatku menyaksikan perubahan demi perubahan. Semangat yang dulu membara, kadang terlihat melemah. Nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi, perlahan kabur dari perbincangan. Karena itu, tulisan ini hadir—bukan sebagai keluhan, apalagi tuduhan. Tapi sebagai upaya menjaga. Karena mencintai sesuatu bukan berarti hanya memujinya dalam diam, tapi juga berani bicara ketika ada yang perlu diperbaiki.
Diksar: Antara Ketangguhan dan Pertumbuhan
Dulu, Diksar dijalani dengan semangat yang membara. Latihan fisik yang intens, tekanan mental, evaluasi hingga larut malam—semua itu dijalani sebagai bagian dari proses pembentukan karakter. Di dalamnya terkandung niat baik untuk menyiapkan anggota yang tangguh, mandiri, dan siap menghadapi medan sesungguhnya. Tidak ada niat untuk menyakiti, apalagi merendahkan. Sebaliknya, para panitia dan instruktur justru banyak yang secara diam-diam menjaga dan mengawasi setiap proses dengan penuh kepedulian.
Namun, seiring waktu dan pergeseran generasi, pendekatan semacam ini layak ditinjau ulang. Bukan karena dianggap salah, tetapi karena dunia berubah—dan cara kita membentuk karakter pun harus ikut berkembang. Beberapa peserta mungkin tidak kembali setelah Diksar, bukan karena Mapala memperlakukan mereka dengan buruk, tetapi mungkin karena mereka belum sepenuhnya menemukan ruang untuk bertumbuh sesuai potensi mereka. Mereka yang dibimbing lebih dekat, diberi ruang untuk bertanya, bereksplorasi, dan dikenalkan pada organisasi secara personal, justru banyak yang bertahan dan menunjukkan kontribusi jangka panjang.
Kini saatnya memperkaya Diksar dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Latihan fisik tetap penting, namun harus selaras dengan prinsip keselamatan dan pembelajaran yang sehat. Nilai-nilai seperti etika lingkungan, kepemimpinan yang empatik, kerja tim, serta sejarah gerakan pecinta alam perlu mendapat porsi yang lebih besar. Karena Mapala bukan hanya tentang ketangguhan menghadapi alam, tapi juga tentang bagaimana kita memahami relasi dengan sesama manusia dan lingkungan.
Diksar seharusnya menjadi ruang pembentukan tubuh, pikiran, dan kesadaran sosial—bukan sekadar ajang menguji daya tahan, melainkan tempat menumbuhkan makna.
Setelah Diksar, Lalu Apa?
Salah satu tantangan terbesar Mapala—dan banyak organisasi lainnya—terletak pada fase pasca-Diksar. Ketika peserta sudah dikukuhkan, semangat yang awalnya membara perlahan meredup. Grup jadi sepi, rapat hanya diisi wajah-wajah lama, dan kegiatan pun terasa berat karena kurang partisipasi.
Pertanyaannya: kenapa bisa begitu?
Banyak yang menyimpulkan mereka memang tidak serius. Tapi mungkin kita perlu bertanya balik: apakah kita sudah menyediakan ruang yang cukup bagi mereka untuk berkembang? Apakah ada sistem yang mendampingi mereka setelah Diksar?
Program pasca-Diksar sangat krusial. Perlu ada pengenalan lanjutan, pelatihan ringan, mentoring personal, bahkan kegiatan santai yang bisa membangun kedekatan. Kita juga perlu sadar bahwa tidak semua orang ingin terus turun ke lapangan. Ada yang ingin berkontribusi lewat dokumentasi, menulis, desain grafis, hingga media sosial. Semua itu bagian penting dari wajah organisasi hari ini.
Dan satu hal yang jangan dilupakan: jangan memutus komunikasi. Bahkan mereka yang sempat menjauh, masih mungkin kembali. Selama kita tetap membuka ruang tanpa menghakimi, siapa tahu mereka akan kembali dengan versi terbaiknya.
Menjaga Semangat Petualangan, Menyalakan Kesadaran
Petualangan selalu jadi denyut nadi Mapala. Menjelajah gunung, menyusuri sungai, menembus hutan, menjelajahi gua. Itu bagian dari sejarah dan identitas kita.
Tapi zaman berubah. Kini, krisis iklim menjadi nyata. Sungai tercemar, hutan menyempit, suhu bumi meningkat. Maka mencintai alam tidak lagi cukup dengan eksplorasi, tapi juga aksi nyata menjaga dan merawat.
Mapala bisa hadir di dua jalur sekaligus: Tetap menjaga semangat ekspedisi melalui divisi-divisi seperti Mountaineering, Climbing, Rafting, Caving, dan Konservasi. Sekaligus memperkuat peran sosial dengan edukasi lingkungan, kampanye digital, advokasi, dan kolaborasi masyarakat.
Dengan begitu, keberadaan kita tidak hanya terlihat di puncak gunung, tapi juga terasa di ruang kebijakan dan kesadaran publik. Menjadi Mapala berarti menjelajah sambil menjaga.
Budaya Organisasi: Dari Senioritas ke Keteladanan
Masih banyak anggota baru yang merasa tidak bebas berpendapat karena kultur “senioritas” yang terlalu kaku. Mereka takut salah, takut dianggap kurang ajar, hingga memilih diam meski punya gagasan bagus.
Padahal organisasi yang sehat adalah yang membuka ruang untuk semua suara, bukan hanya suara yang lebih dulu datang.
Menjadi senior bukan soal memerintah, tapi membimbing. Bukan soal dihormati karena lama bergabung, tapi karena bisa menjadi teladan. Kepemimpinan sejati lahir dari kesediaan untuk mendengar dan memberi ruang tumbuh.
Regenerasi tidak cukup hanya dengan mewariskan nama besar. Harus dibarengi dengan mewariskan semangat dialog, keterbukaan, dan rasa percaya.
Menjadi Mapala, Lebih dari Sekadar Bertahan
Apa yang membuat kita bertahan di Mapala? Mungkin bukan hanya kenangan ekspedisi, atau tenda yang dibangun bersama. Tapi karena kita merasa pernah punya rumah—tempat di mana suara kita didengar dan keberadaan kita dihargai.
Tulisan ini bukan akhir, melainkan undangan. Untuk bicara, berpikir, dan bergerak bersama. Di tengah tawa di basecamp, di sela perjalanan mendaki, atau di sela kopi sebelum rapat—mari kita sisipkan obrolan tentang masa depan organisasi ini.
“Kesetiaan yang sejati adalah yang berani menegur, bukan hanya memuja.”— Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 12
Karena menjadi Mapala bukan sekadar bertahan di medan berat, tetapi tentang bagaimana terus tumbuh, tetap relevan, dan memberi dampak—bagi diri sendiri, bagi organisasi, dan bagi alam yang kita cintai.
Bagaimana menurutmu? Apakah hal-hal yang kita jalani di organisasi hari ini masih menyalakan semangat yang sama? Atau justru perlu ditata ulang agar lebih relevan dan ramah untuk generasi berikutnya? Kalau kamu punya kenangan, pandangan, atau harapan tentang Mapala dan gerakan pecinta alam, mari berbagi cerita. Karena siapa tahu, tulisan sederhana bisa menjadi awal dari perubahan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar